Kok Kamu Nggak Sepaham

Kamis subuh sebelum saya kehilangan sendal jepit setelah selesai shalat berjamaah di mesjid (berjamaahnya nggak rapat ya), saya sempat membuka status WA dan melihat ada postingan teman yang lagi mempertanyakan perbedaan antara mudik dengan pulang kampung. Seketika itu juga saya membuka facebook untuk melihat kemungkin postingan yang serupa ada juga dan ternyata ada tokoh publik, dosen Fisipol UGM, yang saya ikuti membahas ini. Saya selalu tertarik dengan postingan beliau karena selalu memberikan pencerahan politik dan selalu mengingatkan untuk berbicara di media sesuai dengan keahliannya. Menurut beliau,AGK, mengatakan bahwa mudik dan lebaran itu berbeda
"Rumah saya di DIY itu di pelosok Sleman. Sekitarnya sawah, dan ada kandang sapi. Kalau malam dikit sudah sepi. Paling yang banter cuma suara adzan. Kampung banget kan?. Kalau lagi lebaran, saya pulang ke Sumenep, tinggal di rumah mertua yang berada di jalan utama, hanya 1km dari alun-alun. Suasana di sana selalu ramai. Suara kendaraan di depan rumah itu terasa memekakkan bagi saya. Ini adalah kota. Jadi kalau sedang mudik, saya memang tidak berasa pulang kampung. Berasanya pulang kota. Kalau balik ke DIY, baru itu berasa pulang ke kampung. Menurut saya, mudik itu memang beda dari pulang kampung. Sudah betul itu. Sampeyan saja yang pikniknya kurang jauh..."
Melihat postingan seperti di atas saya hanya bisa membayangkan bahwa betul selama ini tempat saya tinggal adalah kampung, sedangkan tempat tinggal istri saya adalah kota. Oleh sebab itu, saya nggak pernah menyebutnya pulang kampung jika pergi ke rumah mertua pada hari lebaran.  Konsep pulang kampung menurut bapak Dosen AGK memilki kesamaan dengan konsep pulang kampung menurut saya. Karena pengaruh lingkungan tempat tinggal  maka saya mengategorikan bahwa kampung dan kota adalah dua konsep yang berbeda. Sehingga pulang kampung sangat cocok untuk menyatakan perpindahan seseorang dari perkotaan menuju perkampungan. Sedangkan mudik bisa dikatakan perpindahan seseorang dari suatu tempat ke tempat lain pada hari raya lebaran tanpa memperhatikan apakah perpindahannya dari kampung ke kota dan sebaliknya.

Pengategorian seseorang terhadap suatu konsep boleh saja berbeda, hampir mirip, atau berbeda sama sekali. Saya sebagai orang suku Sunda, memahami sarapan atau 'makan' adalah memasukan makanan berupa nasi dan lauk pauknya. Sedangkan jika pagi-pagi makan roti bakar dengan campuran keju, daging, atau susu tidak bisa dikatakan sarapan atau 'makan'. Bahkan, saking mengsakralkan konsep 'makan' saya sering (karena ajaran orang tua) makan nasi dicampur mie untuk meyakinkan pemikiran saya mengenai konsep makan. Contoh lainnya adalah mengenai konsep perbedaan jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Suatu hari tepatnya saya lupa, saya menonton video instrumental musik sejenis bambu ditiup oleh seseorang yang berambut gondrong. Seketika anak saya yang lagi menonton menanyakan, " Bah, itu perempuan kok ada kumisnya?" dan saya menjawab, "itu laki-laki, cuman rambutnya panjang, belum dicukur", "Ouhh gitu" timpal anak saya. Mendengar pertanyaan anak saya tadi saya nggak bisa menyalahkannya karena menurut pengalaman yang dia lihat sehari-hari yang berambut panjang adalah perempuan. Begitulah anak saya mengategorikan konsep perempuan dalam pemikirannya. Banyak sekali konsep-konsep dalam kehidupan yang memang selalu berbeda dalam suatu kelompok atau individu yang sangat dipengaruhi oleh lingkungan dan pengalaman.

Konsep adalah representasi internal dari kategori rangsangan terkait (objek, peristiwa, dan proses) yang memungkinkan seseorang untuk memilah rangsangan tersebut ke dalam kategori itu. Konsep memungkin seseorang untuk menyusun stimuli yang karakteristiknya sama ke dalam kategori. Anak saya termasuk contoh yang paling saya pahami bagaimana dia mengategorikan minuman susu dan kopi. Kemarin saya minta merasakan susu, anak saya bilang, "susu itu untuk minuman anak-anak, bapak-bapak mah minumnya kopi". Anak saya mampu membuat perbedaan kopi dan susu berdasarkan stimuli dan pengalaman yang dia lihat dari kehidupan sehari-hari bahwa dirumah saya yang sering minum kopi adalah saya dan yang minum susu adalah anak-anak. Jadi, sebetulnya ketika seseorang membedakan antara dua konsep yang menurut kita sama bukanlah sebuah kesalahan. Tapi kita-lah belum bisa saling memahami.

Konsep mudik dan pulang kampung bisa saja menjadi dua konsep yang sama atau berbeda tergantung dari mana kita memahaminya. Seorang teman saya yang guru bahasa memahami konsep mudik dan pulang kampung berdasarkan definisi yang ada pada kamus besar bahasa Indonesia, sedangkan orang lain bisa saja menurut pengalaman hidup mereka. Begitupun dengan Presiden RI kita bapak Jokowi yang menyatakan bahwa:
"Kalau itu bukan mudik. Itu namanya pulang kampung. Memang bekerja di Jabodetabek, di sini sudah tidak ada pekerjaan, ya mereka pulang. Karena anak istrinya ada di kampung, jadi mereka pulang," kata Jokowi menjawab pertanyaan Najwa Shihab dalam program "Mata Najwa" yang tayang pada Rabu (22/4/2020). "Ya kalau mudik itu di hari Lebaran-nya. Beda. Untuk merayakan Idul Fitri. Kalau yang namanya pulang kampung itu yang bekerja di Jakarta, tetapi anak istrinya ada di kampung," ujar dia. (dalam kompas)
Mendengar pernyataan bapak Presiden kita, apakah ini sebuah kesalahan?, tentunya bukan sebuah kesalahan karena menurut beliau konsep mudik dan pulang kampung adalah dua hal yang berbeda. Namun hal ini akan menjadi sebuah polemik dikemudian hari jika ada orang yang mau mudik kemudian berasalan ingin pulang kampung ketika ada pemeriksaan di jalan oleh petugas kepolisian. Seperti apa yang dikatakan oleh  Sosiolog dari Universitas Indonesia (UI) Imam Prasodjo memberikan tanggapan atas pernyataan Presiden Joko Widodo yang membedakan istilah mudik dengan pulang kampung. Menurut Imam, Presiden Jokowi melalui pernyataannya itu terlihat ingin membedakan antara dua konsep
"Konsep pulang kampung sebab bukan karena Lebaran atau itu return migration biasa. Tetapi, jika sebab ingin kumpul-kumpul di Hari Raya Idul Fitri dengan keluarga itu return migration sebab Lebaran dan disebut mudik," ujar Imam saat dikonfirmasi Kompas.com, Kamis (23/4/2020). (Imam Prasodjo, dalam kompas )
mendengar pernyataan bapak sosiolog dan penjelasannya mengenai dua konsep ini dan apa tujuan bapak presiden membedakan dua konsep ini, saya mulai memahami apa tujuan pembedaan kedua konsep ini. Namun sebaiknya bapak Presiden harus melarang siapa saja yang ingin pulang kampung dan mudik tidak diijinkan untuk mencegah penyebaran lebih banyak covid-19.

Sebagai mahasiswa yang pernah dibingungkan oleh konsep bangun datar dan mulai memahami konsep dari persegi, persegi panjang, dan lain-lain. Saya pernah mendapat pertanyaan yang serupa mengenai "apakah persegi merupakan persegi panjang?" oleh seorang teman mahasiswa juga dan pertanyaan serupa pernah saya tanyakan kepada subyek penelitian saya. Biarlah pergulatan konsep ini hanya ada dalam konsep matematika dan pergulatan tesis saya. Hal terpenting dalam suasana seperti ini yang dibutuhkan oleh kita sebagai bagian dari bangsa ini adalah saling memahami satu sama lain dalam menghadapi wabah covid-19.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Media Pembelajaran Persamaan Linear Satu Variabel

Simulasi Fungsi - Superposisi Gelombang Sinus

Buku-Buku Aljabar PDF